lintasbantulnews.com – Bantul / Dalam era kemajuan teknologi dan budaya, banyak aspek kehidupan mengalami perubahan drastis, termasuk industri gerabah. Namun, di Dusun Semampir, Panjangrejo, Pundong, Bantul, suasana masih terasa klasik. Meski hanya dihuni belasan pengrajin, kebanyakan di antaranya adalah ibu rumah tangga, mereka tetap setia dengan produksi tungku, kuwali, dan cobek secara klasik. Keberanian untuk tidak mengikuti tren industri gerabah masa kini, seperti yang terjadi di Kasongan, adalah pilihan yang dipegang teguh.
Ny. Kamini (54) dan Sandiyah (57), dua wanita beradik dari Semampir RT 04, Panjangrejo, Pundong, Bantul, telah menekuni pekerjaan pengrajin gerabah selama puluhan tahun. Produk-produk mereka, seperti tungku, memiliki variasi harga sesuai dengan ukuran yang dihasilkan. Sehari-hari, mereka mampu menghasilkan 20 tungku dengan bahan baku yang mereka ambil di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Uniknya, mereka tidak perlu repot memasarkan produk-produk mereka karena sudah ada pihak yang secara rutin mengambil hasil kerajinan tersebut.
Rajiyem, seorang pengrajin gerabah dari RT.02 Semampir, menjelaskan bahwa ia tidak terpengaruh oleh kemajuan banyak kerajinan gerabah modern. Ia tetap setia sebagai pengrajin gerabah klasik sejak lulus SD. Dengan dedikasinya terhadap tanah liat, setiap bulannya Rajiyem mampu menghasilkan 200 cobek. Pekerjaannya ini tidak hanya memberikan mata pencaharian, tetapi juga mampu menyekolahkan ketiga anaknya. Satu di antaranya bahkan sudah menamatkan pendidikan di SMK.
Meskipun industri gerabah di Semampir, Panjangrejo, Pundong, Bantul hanya dihuni oleh beberapa pengrajin, mereka berharap cuaca atau iklim mendukung keberlanjutan pekerjaan mereka. Hujan menjadi tantangan tersendiri, mengakibatkan mereka tidak dapat berproduksi dan potensial menjadi pengangguran. Dengan semangat bertahan dan mempertahankan tradisi gerabah klasik, mereka menunjukkan keberanian untuk tidak larut dalam arus modernisasi yang melanda banyak sektor industri. (NN lbn)